NEGERI MARTABAT TUJUH
Alunan syair Kabanti terdengar dari rumah La Mutadi di dekat kawasan benteng Keraton Wolio, Kota Bau-Bau, Pulau Buton. Syair ini adalah salah satu bentuk tradisi lisan di Pulau Buton yang berisikan nasihat dan ajaran kehidupan. Makna lebih dalam dari syair berbahasa Wolio ini umumnya berupa petikan ajaran tasawuf yang diwariskan para leluhur.
Di masa silam, Pulau Buton dikuasai raja Hindu.
Raja pertamanya bernama I Wa Kaa Kaa. Saat itu Pulau Buton telah menjadi catatan penting dalam sejarah pelayaran Nusantara. Ini dibuktikan dengan tertulisnya nama Buton dalam Kitab Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca. “Nama Islam I Wa Kaa Kaa adalah Zamzabiyah,” kata sejarahwan, La Ode M. Anshari Idris.
Sejarah kemudian menggulirkan cerita baru ketika seorang ahli tasawuf asal Gujarat, Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al Fathani singgah di Pulau Buton. Dia berhasil mengislamkan raja ke enam Buton dan timbang timbangan atau lakilapotan atau halu oleo serta segenap keluarganya.
Menurut La Ode Muchir Raaziki, tidak hanya itu, Syekh Abdul Wahid juga berhasil mengubah tatanan pemerintahan di pulau ini dari kerajaan menjadi kesultanan. Sang raja pun akhirnya berganti nama menjadi Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul.
La Ode Muchir Raaziki adalah ahli tasawuf dan juga mantan imamu Masjid Agung Benteng Keraton Wolio. Sebagai imam dia tentu saja memahami sejarah dan perkembangan ajaran tasawuf warisan para leluhurnya. Dahulu La Ode seakan menjadi pengawal kehidupan jasmani dan rohani di lingkungan benteng Keraton Wolio. “Mereka memang mengayomi seluruh negeri bersama kesultanan,” ujar La Ode Muchir.
Salat Jum’at adalah momen yang selalu dimanfaatkan para syara atau pengurus agama di lingkungan benteng Keraton Wolio untuk bertemu dengan jamaah masjid terutama warga di lingkungan benteng. Dahulu masjid ini menjadi tempat pertemuan Sultan dan perangkat adat dengan rakyat.
Karena itu di bagian depan masjid terdapat dua ruang. Satu ruangan untuk Sultan dan satu lagi untuk Sultan Batin atau lakina agama. Setelah Kesultanan Buton berakhir masjid hanya memiliki lakina agama, imamu masjid, dan para pengurus lainnya.
Panggilan ketiga beduk telah terdengar tanda waktu salat Jum’at telah tiba. Di bale depan, imamu masjid masih berzikir untuk mendapatkan petunjuk dari yang Maha Hidup. Tata cara seperti ini sudah dilakukan sejak ratusan tahun silam. Imamu masjid benar-benar mempersiapkan diri dan batinnya sebelum berhadapan dengan jamaahnya.
La Ode M. Anshari Idris menambahkan, adat istiadat di Buton merupakan perkawinan agama dan budaya. Agama menjadi rohani yang mengisi kehidupan warga dan budaya menjadi jasmaninya. Contoh nyata perkawinan agama dan budaya itu adalah upacara adat pernikahan.
Seluruh rangkaian upacara dilakuan dalam bahasa Wolio. Bahasa yang merangkum sekitar 100 bahasa lokal. Pembacaan doa dilakukan secara khusyuk persis yang biasa dilakukan kalangan sufi ketika mereka memohon kepada yang Maha Perkasa.
Buah terindah dari bibit ajaran tasawuf yang ditanamkan oleh Syekh Abdul Wahid dan Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul adalah Undang-undang Dasar Martabat Tujuh. Undang-undang ini dirancang oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin. “Keberadaan manusia adalah karena ciptaan Tuhan. Ada yang namanya alam ketuhanan dan ada alam kehambaan,” tutur La Ode Muchir Raaziki.
Kekayaan ajaran tasawuf juga diperlihatkan manuskrip-manuskrip kuno yang disimpan di rumah Muzaji Mulki di kawasan benteng Keraton Wolio. Dalam manuskrip bertuliskan huruf arab gundul dan melayu ini disampaikan berbagai ajaran tasawuf dari para Sultan. Bahasa melayu muncul dalam manuskrip karena Syekh Abdul Wahid lama bermukim di Johor, Malaysia. Selain itu para penyebar Islam di Pulau Buton juga umumnya berasal dari Negeri Jiran.
Namun harus diakui Undang-undang Dasar Martabat Tujuh adalah karya Kesultanan Buton yang paling fenomenal. Ini karena kesultanan telah menempatkan ajaran tasawuf sebagai pijakan utama. Sehingga mereka bukan lagi berada dalam wilayah syariat seperti yang kini ramai diterapkan di berbagai daerah. Namun, justru berada di derajat yang lebih tinggi, yakni tarekat.
Saat pelaksanaan salat Jum’at semakin dekat. Setelah melaksanakan shalat tahiyatul masjid, imamu masjid langsung memasuki mihrab. Salat Jum’at pun segera dimulai. Khotbah salah seorang syara agama merupakan momen pembekalan batin.
Warga Pulau Buton percaya doa dan harapan yang disampaikan khatib akan membuahkan keselamatan bagi para jamaah karena setiap musibah yang dialami warga di pekan depan biasanya akan menjadi kesalahan sang khatib.
Pemahaman itu telah mereka yakini sejak masa kesultanan berjaya. Karena itu seorang Sultan tak lagi sekadar pemimpin pemerintahan tapi menyerupai seorang wali yang diutus oleh yang Maha Raja. Dengan begitu Undang-undang Dasar Martabat Tujuh pun menjadi pedoman nyata bagi Sultan dan rakyatnya.
Berdasarkan peraturan tertinggi ini mereka membangun kehidupan yang sangat demokratis dan bertanggungjawab. Bahkan, jabatan Sultan pun bukan dicapai karena trah semata tapi dipilih karena akhlaknya oleh anggota dewan yang disebut Patalimbona. Karena itu seorang Sultan bisa dilengserkan bila terbukti melakukan kesalahan.
Kejayaan Kesultanan Buton telah lama berakhir. Undang-undang Dasar Martabat Tujuh pun hanyalah catatan sejarah masa silam. Entah dengan falsafah hidup masyarakat yang menjunjung tinggi masalah agama di atas pemerintah, negara, dan diri pribadi. Inilah Negeri Martabat Tujuh yang senantiasa mengagungkan tasawuf dan para khalifahnya
LANJUT KE CERMIN MARTABAT TUJUH
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.