PENTINGNYA TAUHID ASMA’ DAN SIFAT
Sesungguhnya, termasuk yang penting bagi seorang pencari kebenaran, sebelum mempelajari sisi-sisi tauhid yang rinci dan mendetail dari Asma’ dan Sifat, hendaklah ia mengerti pentingnya tauhid ini, kedudukan, peranannya secara khusus dan dalam seluruh sisi agama ini secara umum.
Pembentukan pemahaman tentang penting dan agungnya kedudukan tauhid Asma’ wa Sifat dalam benak seorang muslim, dengan izin Allah, manfaatnya akan kembali kepada diri seorang muslim dalam mengimani Allah Azza wa Jalla. Sehingga dapat menekuni sisi ini sesuai dengan proporsi kepentingan yang semestinya. Demikian pula dapat menambah kesenangannya untuk mempelajari, menekuni dan membahas masalah Asma’ wa Sifat dengan segala cabangcabangnya, dimana seorang pencari kebenaran yang bersemangat meningkatkan ilmunya yang bermanfaat, tidak dapat mengabaikan persoalan tauhid Asma’ wa Sifat.
Hanya saja sangat disesalkan, sebagian orang mempunyai pandangan meremehkan ketika melihat urgensi dan kedudukan tauhid ini. Mereka menyangka bahwa membahas masalah ini, tidak lebih dari (sekedar) menyebutkan perbedaan pendapat yang saling bertentangan tentang mana di antara nama dan sifat-sifat Allah yang di akui adanya atau tidak diakui. (Menurut mereka), perkaranya tidak melebihi hal itu dan tidak akan keluar darinya.
Perkataan dan pendapat demikian tidak akan lahir, kecuali dari salah satu di antara dua jenis manusia. Mungkin dari orang bodoh (jahil) yang tidak mengetahui bahwa dalam pembahasan ini terdapat masalah-masalah bermanfaat dan memiliki tingkat kepentingan yang untuk memahami permasalahannya tidak bisa diabaikan oleh seorang muslim.
Atau mungkin, dari orang yang menyimpang aqidahnya. Ia menyangka bahwa perkara ini tidak bertentangan dengan yang diyakini ahli bathil, yang (mereka itu), dalam permasalahan ini atau masalah lain tidak bernaung di bawah terangnya cahaya Al Qur’an dan Sunnah. Sebagai akibatnya, ketika mereka berbicara masalah (Asma’ wa Sifat) ini, (pembicaraan mereka) tidak keluar dari kerangka caci makian terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah, serta membuat keragu-raguan tentang Asma’ dan Sifat tersebut atau tentang sebagian besar darinya.
Oleh karena itu mereka enggan untuk memahaminya. Apalagi menerangkan pembahasan yang terdapat disana, berupa peran dan kedudukannya dalam aqidah seorang muslim dan keimanannya terhadap Allah
Dalam rangka membimbing pencari kebenaran dan mengajari orang-orang bodoh yang lalai, serta mengajak orang-orang yang menyimpang, juga sebagai pengingat kembali bagi orang alim, maka kami tulis bahasan ini, yang mengisyaratkan sebagian dari yang terdapat dalam tauhid ini, yaitu berupa faidah dan keistimewaan-keistimewaannya. Semoga Allah memberi manfaat dengan tulisan ini kepada orang yang sudi mentelaah serta mengkajinya.
Maka dengan taufiq Allah, dan hanya kepada-Nya saya memohon pertolongan serta kebenaran, saya ketengahkan secara ringkas apa yang ingin saya sampaikan pada poinpoin berikut:
TAUHID ASMA’ WA SIFAT ADALAH SEPARUH BAB IMAN KEPADA ALLAH
Bagi seorang muslim, sungguh sangat jelas pentingnya iman kepada Allah. Karena, rukun tersebut merupakan rukun iman pertama, bahkan terbesar. Rukun-rukun selainnya mengikut kepadanya dan cabang dari padanya. Itulah tujuan diciptakan makhluk, diturunkan kitab-kitab, diutus dan rasul-rasul, serta agama ini dibangun di atasnya. Jadi, iman kepada Allah merupakan asas segala kebajikan dan sumber hidayah serta sebab segala kebahagiaan.
Yang demikian itu, karena manusia sebagai makhluk yang diciptakan dan dipelihara, segala ilmu dan amalnya kembali (tergantung) kepada pencipta dan pemeliharanya. DariNya-lah petunjuk, untukNya beramal, dan kepadaNya akan dikembalikan. Manusia tidak bisa bebas dariNya. Berpaling dariNya, berarti kebinasaan dan kehancuran itu sendiri.
Seorang hamba tidak akan mendapat kebaikan dan tidak pula kebahagiaan, kecuali dengan mengenal Rabb-nya dan beribadah kepadaNya. Bila ia melakukan yang demikian itu, maka itulah puncak yang dikehendakiNya, yaitu untukNya ia diciptakan. Adapun selain itu, mungkin suatu yang utama dan bermanfaat, atau keutamaan yang tidak ada manfaatnya, atau suatu tambahan yang membahayakan. Oleh karena itulah, dakwah para rasul kepada ummatnya adalah (menyeru) untuk beriman kepada Allah dan beribadah kepadaNya. Setiap rasul memulai dakwahnya dari hal itu, sebagaimana (dapat) diketahui dari sejarah dakwah para rasul yang diterangkan dalam Al Qur’an.
Untuk memiliki kebahagiaan dan keselamatan serta keberuntungan, yaitu dengan merealisasikan tauhid yang dibangun di atas keimanan kepada Allah. Dan untuk mewujudkan keduanya, (maka) Allah mengutus utusanNya. Itulah yang didakwahkan para rasul, dari yang pertama (Nuh) hingga yang terakhir (Muhammad).
Pertama : Yaitu tauhid ‘ilmi khabari al i’tiqadi. Meliputi penetapan sifat-sifat kesempurnaan Allah dan menyucikanNya dari segala penyerupaan dan penyamaan, serta mensucikan dari sifat-sifat tercela.
Kedua : Yaitu beribadah kepadaNya saja, tidak menyekutukanNya dan memurnikan kecintaan kepadaNya, serta mengikhlaskan kepadaNya perasaan khauf, raja’, tawakal kepadaNya dan ridha terhadapNya sebagai Rabb, ilah dan wali. Tidak menjadikan untukNya tandingan dalam perkara apapun.
Allah telah mengumpulkan kedua jenis tauhid ini dalam surat Al Ikhlas dan Al Kafirun. Surat Al Kafirun mencakup ilmi khabari iradi dan surat Al Ikhlash juga mencakup tauhid ilmi khabari.
Di dalam surat Al Ikhlash terdapat keterangan yang wajib dimiliki Allah, yaitu berupa sifat-sifat sempurna. Juga menegaskan apa-apa yang wajib disucikan dariNya, yaitu berupa sifat-sifat tercela dan penyerupaan. Adapun surat Al Kafirun, menerangkan wajibnya beribadah hanya kepadaNya, tidak menyekutukanNya dan berlepas diri dari segala peribadatan kepada selainNya.
Salah satu dari dua tauhid diatas tidak akan terjadi, kecuali bila disertai tauhid yang satunya lagi. Oleh karena itu, Nabi sering membaca dua surat ini dalam shalat sunnah Fajar, Maghrib dan Witir. Karena kedua kedua surat itu merupakan pembuka amal dan penutup amal. Sehingga permulaan siang harinya (dimulai) dengan tauhid dan ditutup dengan tauhid. [1]
Jadi, separuh (sebagian) tauhid yang dituntut dari seorang hamba, dan separuhnya adalah tauhid Asma’ wa Sifat.
TAUHID ASMA’ DAN SIFAT, SECARA MUTLAK ADALAH ILMU YANG MULIA DAN PENTING
Sesungguhnya mulianya suatu ilmu, tergantung pada isi ilmu itu sendiri, karena tingkat kepercayan seseorang pada dalil-dalil serta bukti-bukti tentang adanya. Disamping isi ilmu itu amat perlu difahami dan sangat besar manfaatnya bila difahami.
Tidak diragukan, bahwa sesuatu yang paling agung, paling mulia dan paling besar untuk diketahui adalah tentang Allah.
Dzat yang tidak ada sesuatupun berhak diibadahi kecuali Dia, Rabb alam semesta, Pemelihara langit, Maha Raja Yang Haq, yang disifati dengan semua sifat sempurna. Dzat yang Maha Suci dari segala kekurangan dan cela, Maha Suci dari keserupaan serta kesamaan dalam kesempurnaanNya. Maka tidak diragukan bahwa mengilmui nama-nama dan sifat-sifat serta perbuatan-perbuatanNya merupakan pengetahuan paling agung dan paling utama. [2]
Bila dikatakan bahwa ilmu adalah sarana bagi amal, ia dimaksudkan untuk diamalkan, dan amal adalah tujuan ilmu. Padahal telah diketahui, tujuan lebih utama dari sarana. Dengan demikian, bagaimana sarana lebih diutamakan daripada tujuannya?
Perlu dijawab, masingmasing ilmu maupun amal dibagi menjadi dua. Diantaranya ada yang menjadi sarana (wasilah), dan diantaranya ada yang menjadi tujuan (ghayah). Jadi, tidak seluruh ilmu adalah sarana untuk mendapatkan yang lainnya. Karena sesungguhnya ilmu tentang Allah, nama-nama dan sifat-sifatNya adalah ilmu yang paling mulia secara mutlak. Jadi ilmu ini adalah ilmu yang dituntut dan kehendaki itu sendiri. Allah berfirman.
اللهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ اْلأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ اْلأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَىْءٍ عِلْمًا
Allah yang telah menciptakan tujuh lapis langit dan bumi semisalnya. PerintahNya berlaku padanya. Agar kamu mengetahui, bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan sesungguhnya Allah, ilmuNya benar-benar meliputi segala sesuatu. [Ath Thalaq : 12].
Allah telah mengabarkan, bahwa Dia menciptakan langit dan bumi, dan memberlakukan perintahNya kepadanya, supaya hamba-hambaNya mengetahui bahwa Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Jadi, ilmu ini sebagai puncak (tujuan) penciptaan yang dituntut (untuk diketahui). Allah berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لآإِلَهَ إِلاَّاللهُ
Ketahuilah, bahwasanya tidak ada yang diibadahi dengan benar, kecuali Allah. [Muhammad : 19].
Jadi, mengilmui ke-Maha-Esaan Allah menjadi keharusan, dan tidak cukup dengan itu saja, tetapi harus disertai dengan beribadah kepadaNya semata, tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Keduanya adalah dua perkara yang dituntut. Pertama, untuk mengenal Allah dengan namanama, sifat-sifat, perbuatanperbuatan dan hukumhukumnya. Kedua, untuk beribadah sebagai konsekwensi dan kewajibannya.
Jadi, mengilmui ke-Maha Esaan Allah menjadi keharuasan, dan tidak cukup dengan itu saja, tetapi harus disertai dengan beribadah kepadaNya semata, tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Keduanya adalah dua perkara yang dituntut. Pertama, untuk mengenal Allah dengan nama-nama, sifat-sifat, perbuatan-perbuatan dan hukum-hukumnya. Kedua, untuk beribadah sebagai konsekwensi dan kewajibannya.
Jadi seperti halnya beribadah kepadaNya itu dituntut dan dikehendaki, demikian pula mengilmui tentangNya, karena sesungguhnya ilmu termasuk seutama-utama ibadah. [3]
TAUHID ASMA’ DAN SIFAT ADALAH DASAR ILMU AGAMA
Tauhid asma’, sifat dan af’al, adalah ilmu yang paling agung, paling mulia dan paling mulia dan paling besar, yang merupakan ashlu (prinsip) agama. Semua ilmu mengikut pada ilmu ini dan sangat membutuhkannya. Sehingga mengilmui tentangnya termasuk prinsip keilmuan dan permulaannya. Karena, barangsiapa mengenal Allah, maka akan mengenal yang lainnya. Dan barangsiapa yang tidak mengenal Rabb-nya, maka terhadap yang lainnya (pun) dia tidak lebih mengetahui. Allah berfirman,
وَلاَتَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan janganlah engkau menjadi seperti orang-orang yang melalaikan Allah, lalu mereka melalaikan diri mereka sendiri. [Al Hasyr : 19].
Amatilah ayat ini, engkau akan mendapatkan makna yang mulia dan agung. Yaitu, barangsiapa yang melalaikan diri dan pribadinya, sehingga ia tidak mengetahui hakikat dirinya dan tidak pula (mengetahui) kemaslahatan dirinya. Bahkan melalaikan kemaslahatan dan kebahagiaan dirinya di dunia dan di akhirat. Karena ia (telah) keluar dari fitrah, yang untuk itu ia diciptakan. Sehingga, karena ia melalaikan Rabb-nya, maka dilalaikanlah dia dari dirinya, sifatnya, (dilalaikan dari) apa saja yang dapat menyempurnakan diri dan membersihkan dirinya, serta apa saja yang dapat membahagiakan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Allah berfirman,
وَلاَتُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
Dan janganlah engkau mentaati orang-orang yang Kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami dan mengikuti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya melewati batas. [Al Kahfi:28]
Jadi, lalai dari mengingat Rabb-nya akan mengakibatkan persoalan diri dan hatinya melampui batas. Sehingga ia terpalingkan dari menadapatkan kemaslahatan, kesempurnaan, dan apa yang dapat membersihkan jiwa dan hatinya. Bahkan yang demikian itu (dapat) mencabik-cabik hati dan menghancurkannya, membingungkannya dan tidak mengetahui jalan.
Begitulah, ilmu tentang Allah adalah pangkal semua ilmu. Dan ilmu ini merupakan pangkal ilmu pengetahuan seorang hamba tentang kebahagiaannya, kesempurnaanya, kemaslahatan dunia dan akhiratnya.
Sedangkan tidak berilmu tentang Allah, akan mengakibatkan kebodohan terhadap dirinya, kemaslahatannya, kesempurnaannya, dan apa saja yang dapat membersihkan serta membahagiakan dirinya. Maka memahami Allah, berarti kebahagiaan bagi seorang hamba. Dan bodoh terhadapNya berarti pangkal kebinasaan baginya. [4]
(Naskah yang diterjemahkan oleh Abu Hawari ini, merupakan nukilan dari kitab Mu’taqad Ahlu Sunnah Wal Jama’ah Fi Tauhid As Asma’ Wa As Sifat, karya Dr. Muhammad bin Khalifah At Tamimi, Cet. Dar Al Hariri, Qahirah, hlm. 7-13)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
________
Footnote
[1]. Ijtima’ Al Juyus Al Islamiyah ‘Ala Ghazwi Al Mu’athilah Al Jahmiyah, hlm. 35-36.
________
Footnote
[1]. Ijtima’ Al Juyus Al Islamiyah ‘Ala Ghazwi Al Mu’athilah Al Jahmiyah, hlm. 35-36.
[2]. Miftah Daar As Sa’adah, I/86.
[3]. Miftah Daar As Sa’adah, I/178.
[4]. Miftah Daar As Sa’adah, I/8
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.