Aji Pameleng (Ilmu Keheningan) Syekh Siti Jenar
a. Maksud dan Pengertian Semèdi atau Laku Hening
Maksud dari aji adalah ratu/raja, pameleng adalah pasamadèn (laku semèdi, hening), memiliki pengharapan sebagai tanda keinginan yang paling luhur.
Adapun jenis perbuatannya disebut dengan manekung, pujabrata, mesu budi, mesu cipta, mengheningkan, atau meluhurkan pandangan, matiraga dan sejenisnya.
Tempat yang digunakan untuk melaksanakan laku tersebut adalah panepèn, panekungan, sanggar pamujan, pamurcitan, pahoman, paheningan dan lain-lain. Sedangkan uraian pengetahuannya disebut daiwan, dawan, tirta-amerta, tirtakamandhanu, tirtanirwala, mahosadi, kawasanan, kawaspadan, kawicaksanan, sastracetha, atau sastrajendrayuningrat pangruwating-diyu dan sebagainya.
Adapun kegunaan pengetahuan dan lelaku di atas, perlu digunakan sebagai sarana menyembah untuk mendapatkan kawilujengan (keselamatan disertai kesejahteraan, kedamaian, dan ketentraman), sebab dengan begitu dapat melaksanakan segala sesuatu perbuatan yang baik, ataupun sebagai sarana ketika kita memiliki keinginan mewujudkan anugerah hidup kita pribadi (Pangèran), juga meminta apapun yang lumrah bisa dilaksanakan sesuai dengan kemampuan kita melaksanakannya dengan tidak meninggalkan kehati-hatian.
b. Asal Mula Ilmu Hening
Adapun permulaan datangnya pengetahuan pasamadèn di dunia ini, menurut tata bahasanya, banyak yang memakai bahasa Sansekerta. Jadi dengan demikian, berati mulanya pengetahuan pasamadèn berasal dari kebijaksanaan bangsa Hindu pada zaman kuno, yang sudah tidak diketahui hitungan ribuan tahunnya. Kemungkinan saja tersebarnya pengetahuan (Kawruh) pasamadèn bersamaan dengan ketika bangsa Hindu memulai membuat candi beserta arca-arcanya. Semula, pengetahuan itu hanya untuk bangsa Hindu (India) yang beragama apa saja, pasti ditentukan memakai dan menghayati pasamadèn. Sebab hanya dengan pengetahuan pasamadèn itulah yang menjadi permulaan pengetahuan semesta, dan juga menjadi pengajarana agama yang paling utama.
Lama-kelamaan, bangsa India dengan Hindunya menyebar sampai ke tanah Jawa dan sebagainya, termasuk penyebaran agama beserta pengetahuan-pengetahuan lain, termasuk pengetahuan pasamadèn. Kawruh pasamadèn di tanah Jawa dapat berkembang pesat, sebab orang Jawa tidak memandang derajat, sudah senang dan akrab dengan laku puruta (pasamadèn), dan dapat menerapkan pengolahan pengetahuan itu, sebab dengan kawruh itu dapat cocok dengan dasar-dasar batin dan ruhani orang Jawa. Sehingga dengan mudah segera merasuk ke dalam tulang sumsum orang Jawa.
Ditambah lagi bahwa kemudian banyak orang India dan Hindu yang menjadi Jawa menyebarkan ajaran agama dan pengetahuan olah ruhani, serta ilmu kebijaksanaan (kawicaksanan). Ibarat sekejapan mata, bangsa Jawa di semua pelososk memeluk Hindu, dan juga, dengan kawruh pasamadèn dan kawicaksanan, sudah merasakan keberuntungan, kemuliaan, kebahagiaan dan sebagainya, sebab dari buah pengetahuan lelaku hening tersebut.
Kemudian datanglah orang-orang bangsa Arab yang masuk di pulau Jawa, yang membawa pengetahuan dan agama yang disiarkan Nabi Muhammad, yang disebut agama Islam, yang mengurangi pengaruh agama Hindu, disebabkan oleh banyaknya orang yang memeluk Islam. Hanya saja penyebaran agama islam tidak membawa dan tidak mengandung ilmu pasamadèn seperti yang disebutkan di atas.
c. Persateruan Ilmu Hening dengan Kerajaan Demak
Setelah kelompok orang Islam dapat mendirikan negara, yang ditandai dengan berdirinya kerajaan Bintoro (Demak), kemudian muncul larangan keras bagi orang Jawa tidak boleh menerapkan pengetahuan pasamadèn, demikian juga, diharuskan untuk meninggalkan agama lama, dan harus masuk Islam.
Akan tetapi, walau demikian, tidak serta merta bangsa Jawa kemudian mau secara sukarela memeluk Islam semua, kemauan memeluk Islam itu lebih disebabkan karena takut hukuman pejabat negara (Sultan). Jadi islamnya itu hanya berada pada tataran permukaan, atau Islam pengaran-aran (Islam KTP), sedangkan secara batin dan perilaku masih tetap memegang kepercayaan lama.
Maka masalah pengetahuan pasamadèn tetap banyak dilaksanakan, hanya saja pengajaran dan penyebaran ilmu pasamadèn yang dinamakan wejangan (wijang-wijang) dilaksanakan secara diam-diam, sedangkan pelaksanaan laku hening dilakukan pada tengah malam, serta tempat pelaksanaannya bukan pada tempat terbuka, seperti ditanah lapang, hutan, sungai dan sebagainya tempat yang sepi.
Wejangan diberikan secara berbisik, tidak boleh didengarkan orang lain, termasuk rumput dedaunan, hewan, sebangsa gegremetan (melata), kutu, wereng dan sebagainya. Oleh karena itu posisi duduk guru berhadap-hadapan langsung dengan mengadu jidat dengan para murid. Sedangkan bagi guru harus betul-betul berwasiat agar para murid tidak boleh menularkan wewejangan pengetahuannya kepada orang lain, kalau belum diberikan idzin guru, kalau melanggar akan mendapatkan akibat kemurkaan Pangèran. Tindakan seperti iti pada mulanya hanya digunakan untuk menjaga diri dan hati-hati, agar pengajaran ilmu tersebut tidak ketahuan oleh pejabat pemerintahan negeri Islam. Sebab kalau ketahuan akan mendapatkan hukuman.
d. Pola Pengajaran Ilmu Hening
Sampai pada zaman sekarang, walaupun negara sudah tidak mengharu-biru terhadap wewarahan pasamadèn, namun tindakan memberikan pelajaran secara sembunyi-sembunyi masih tetap dilestarikan. Oleh karena itu, kemudian pengetahuan pasamadèn diberikan sebutan oleh mereka yang tidak menyukai ilmu pasamadèn, atau orang Islam yang hanya menerapkan syari’at Islam saja, sebagai ilmu klenik.setelah muncul istilah ilmu klenik, kemudian dibuat sekarang dengan istilah abangan dan putihan. Yang disebut abangan adalah mereka yang tidak melaksanakan syari’at islam secara ketat, sedangkan istilah putihan digunakan bagi mereka yang memeluk agama Islam secara ketat serta melaksanakan aturan syri’atnya, yang juga disebut dengan nama santri. Oleh karena itu santri disebut putihan, karena menurut anggapan orang-orang Islam, santri dalam segala sesuatu merasa lebih bersih atau suci dibanding orang yang tidak memeluk dan melaksanakan aturan agama Islam.
Kembali kepada masalah pengetahuan pasamadèn yang penuh dengan kerahasiaan, karena yang menjadi sebab telah diutarakan di atas. Tetapi sebetulnya, yang dinamakan rahasia-rahasia tersebut memasang tidak ada. Jadi boleh saja diajarkan kepada sena orang, siapa saja, tidak memandang tua muda, dan boleh diwejangkan sewaktu-waktu, asal memang orang tersebut membutuhkan pengetahuan pasamadèn tersebut. Sebab adanya semua itu perlu agar bisa diketahui oleh orang banyak, lebih-lebi pengetahuan pasamadèn itu senyatanya memang pembuka semua pengetahuan.
Maka wajib disebarluaskan kepada semua lapisan masyarakat tua muda, tanpa memandang tinggi rendahnya derajat.
e. Syekh Siti Jenar; Bapak Ilmu Hening Jawa
Bersamaan dengan berkembangnya masa, kemudian terjadi keelokan dari ilmu laku yang tidak disangka-sangka. Di kemudian hari pengetahuan pasamadèn tadi muncul diterima olah kalangan orang Islam, sebab yakin kalau pengetahuan pasamadèn tersebut memang menjadi mustikanya kekinginan dan cita-cita yang dapat mendatangkan keselamatan, kemuliaan, ketenteraman dan hal-hal semacamnya.
Oleh karena itu pengetahuan tadi oleh orang-orang yang sudah mendapatkan pencerahan batin yaitu Syekh Siti Jenar, yang juga menjadi pembimbing agama Islam berpangkat wali, kemudian tercantum di dalam karya seratnya, yang kemudian disebut dengan daim, yang berasal dari kata daiwan yang disebut di atas. Kemudian juga kemudian menjadi bagian dari sarana manembah (penyembahan), sambil diberi tambahan julukannya, kemudian muncul istilah shalat daim (shalat bahasa Arab, daim dari kata daiwan bahasa sansekerta). Adapaun kemudian ditambahi istilah Arab, hanya untuk perhatian untuk mengukuhkan keyakinan murid-muridnya yang sudah meresapi agama Islam. Juga perkataan shalat kemudian terpilah menjadi dua perkara. Pertama, shalat lima waktu, yang disebut shalat syari’at, maksudnya adalah panembah lahir. Kedua, shalat daim, itu adalah panembah batin, maksudnya adalah menekadkan (mengi’tikadkan) manunggalnya pribadi, atau disebut pula loroning atunggal (dua yang menyatu [kawula-Gusti, ingsun-Gusti]).
Kitab karangan Syekh Siti Jenar tersebut kemudian digunakan sebagai pokok pengajaran. Kemudian setelah mendapatkan perhatian orang banyak, sholat lima waktu dan syara’ agama yang lain kemudian terpinggir, bahkan kemudian tidak terajarkan sama sekali. Yang menjadi perhatian hanya lelaku shalat daim saja. Maka orang Jawa yang semula memeluk islam, apalagi yang belum, hampir semuanya berguru kepada Syekh Siti Jenar, karena pengajarannya lebih mudah, jelas, dan nyata.
Sesudah Syekh Siti Jenar mengajarkan pengetahuan pasamadèn, sebagai teman diskusi dan bertukar pikiran adalah Ki Ageng Pengging, yang kemudian menjadi muridnya, dikarenakan Syekh Siti Jenar adalah mitra dalam kebaikan dari Ki Ageng Pengging. Pengetahuan pasamadèn, oleh Syekh Siti Jenar juga diajarkan kepada Raden Watiswara, atau Pangèran Panggung, yang juga berpangkat wali. Kemudian juga diajarkan kepada Sunan Geseng, atau Ki Cakrajaya, yang semula bekerja menderes kelapa, (menjadi murid Sunan Kalijaga, termasuk anggota Walisongo yang ikut menyaksikan dihukum matinya Syekh Siti Jenar, lalu berguru kepada Sunan Panggung).
Asalnya dari Pagelen (Purworejo). Kemudian ajaran tersebut menyebar diamalkan oleh orang banyak. Demikian juga sahabat-sahabat Syekh Siti Jenar yang sudah terbuka rasanya oleh Syekh Siti Jenar kemudian mendirikan perguruan-perguruan pengetahuan pasamadèn.
Semakin lama semakin berkembang pesat, sehingga menyuramkan pengaruh dan penguasan agama para wali yang sedang giat-giatnya menyebarkan Islam syara’. Seandainya gerakan itu dibiarkan oleh para wali, terdapat kekhawatiran masjid akan kosong.
f. Pembantaian terhadap Penganut Ajaran Syekh Siti Jenar
Agar tidak terjadi hal yang demikian, maka Ki Ageng Pengging, Syekh Siti Jenar serta murid dan sahabatnya dijatuhi hukuman mati dengan dipenggal lehernya, dengan perintah Sultan Demak.
Demikian juga Pengaran Panggung tidak ketinggalam, dipidana dimasukkan ke dalam bara api hidup-hidup di alun-alun Demak, sebagai peringatan agar masyarakat merasa takut, dan kalau sudah takut mereka mau membuang ajaran Syekh Siti Jenar.
Diceritakan Pangèran Panggung tidak mempan oleh amuk api, dan kemudian melompat keluar dari dalam api, meninggalkan Demak. Sultan Bintara dan segenap para wali terbengong-bengong dan terkagum-kagum serta terpengaruh kewibawaan serta kesaktian Sunan panggubng, hanya kamitenggengen seperti tugu.
Sesudah sementara waktu, Pangèran Panggung sudah jauh, Sultan dan para wali baru ingat jika Sunan Panggung sudah pergi dari tempat pidana, serta merasa kalah. Disertai dengan banyak prajurit Sunan Geseng atau Ki Cakrajaya pergi menyusul Sunan Panggung. Sultan Demak tidak mampu menahan marah, dan melampiaskan kemarahannya, sahabat serta murid-murid Syekh Siti Jenar yang bisa ditangkap di bantai.
Dilakukan pengejaran besar-besar terhadap semua orang yang dicurigai pernah mengenyam ajaran Syekh Siti Jenar. Sebagian pengikut yang tidak tertangkap pergi meninggalkan Demak mencari selamat.
Para sahabat dan murid yang masih hidup, masih tetap melestarikan ajaran dan perguruan Syekh Siti jenar tentang pengetahuan pasamadèn, tetapi kemudian dibalut dengan pengajaran syari’at Islam, agar tidak diganggu gugat oleh para wali yang menjadi alat negara.
g. Ajaran Pasamaden (Olah Hening)
Adapun sebagian ajarannya adalah sebagai berikut.
Pengajaran pengetahuan pasamadèn yang kemudian disebut shalat daim, dirangkapkan dengan pengajaran shalat lima waktu serta rukun-rukun Islam yang lain-lainnya.
Pengajaran shalat daim itu –di sebagian kalangan- disebut wiridan (tarekat) naksyabandiyah, sedangkan lelaku pengajarannya disebut tafakkur. Sebagian ada yang dalam pengajarannya, sebelum murid menerima pengajaran shalat daim, terlebih dahulu dilatih dengan dzikir dan wirid membaca ayat-ayat suci. Oleh karena itu pengajaran pasamadèn kemudian terbagi menjadi dua, yaitu;
1. Pengajaran pasamadèn atau wewiridan dari para sahabat Syekh Siti Jenar, yang disertai dengan pengajaran syara’ rukun agama islam. Pengajaran tadi sampai sekarang ini sudah meleset dari ajaran pokok semula, karena itu para guru sekarang, yang mempraktekkan pengetahuan pasamadèn, yang diberi nama (tarekat) Naksabandiyah atau Syatariyah mengira bahwa pengetahuan dan wewiridan tersebut berasal dari ulama di Jabalkuber (Hijaz, Makkah).
Kemudian para kiyai dan guru tadi menyebut guru klenik kepada para orang yang melaksanakan pengetahuan pasamadèn menurut ajaran Jawa yang berasal dari pengajaran Syekh Siti Jenar.
Atau juga para guru dan kiyai tadi senang memberikan sebutan Kiniyai, yang mengandung maksud; guru yang mengajarkan ilmu setan. Sedang nama Kiyai, adalah guru yang mengajarkan ilmu para nabi.
2. Pengajaran pasamadèn menurut Jawa, buah dari Ki Ageng Pengging, yang tadinya dipancarkan dari pengetahuan Syekh Siti Jenar (yang kemudian diberi paraban klenik), yaitu yang semula menjadi pembuka pengajaran, terletak pada pengelolaan perwatakan lima hal, yaitu:
a) Setya tuhu (kesetiaan dan ketaatan) atau temen (bersungguh-sungguh) dan jujur.
b) Teguh-sentausa, adil dalam segala hal, bertanggungjawab dan tidak berkhianat.
c) Benar dalam segala perilaku dan perbuatan, sabar dan berbelas kasih kepada sesama, tidak menonjolkan atau membangga-banggakan diri, jauh dari watak aniaya.
d) Pandai dalan segala pengetahuan, lebih-lebih pandai dalam membuat enak perasaan sesama, ataupun juga pandai menahan dan mengendalikan rasa marah dan jengkelnya perasaan pribadi, tidak memiliki prinsip melik nggendhong lali (kalau sudah punya dan sudah enak lupa akan asalnya), hanya karena pengaruh harta benda yang gemerlapan.
e) Susila anor-raga, selalu memelihara tata-krama, mengendalikan akibat penglihatan (apa yang dilihat) dan pengaruh pendengaran (apa yang didengar) kepada pihak yang terkena.
Lelaku lima hal tadi harus dilaksankaan beserta iringan puja-brata dengan melaksanakan laku semèdi, yaitu amesu cipta mengheningkan teropong penglihatan (mubasyirah).
Oleh karena itu bagi pengamalan agama Jawa, bab mengenai pengetahuan pasamadèn serta lelaku lima perkara di atas harus diajararkan kepada semua orang, tua muda tanpa memilih rendah tingginya derajat orang.
Karena itu, dengan sebab mustikanya pengetahuan atau luhur-luhurnya kemanusiaan, ini apalagi tetap semèdinya, mampu melajukan lima hal yang sudah disebutkan di atas. Oleh karena kita tinggal di suasana ketentraman, sedang keadaan yang tenteram menyebabkan makmur-sejahtera dan kemerdekaan kita bersama. Kalau tidak semikian, sampai rusaknya dunia, kita akan tetap menanggung derita, papa dan terhina, tergilas oleh roda perputaran dunia, karena kesalahan dan terkhianati oleh perasaan kita pribadi.
h. Praktek Ilmu Hening Cara Jawa dan Ilmu Kasunyatan
Bab pengetahuan pasamadèn yang kemudian disebut Naksyabandiyah dan Syatariyah, yang kemudian disebutkan sebagai wewiridan dari Syekh Siti Jenar, sudah dijelaskan di atas, hanya saja aplikasinya tidak dijelaskan secara rinci. Di sini hanya akan menjelaskan lelaku aplikatif terhadap semèdi secara Jawa, yang belum terpengaruh oleh agama apapun, yaitu seperti di bawah ini.
Para pembaca, agar jangan keliru atau salah terima, apabila ada anggapan bahwa semèdi ini menghilangkan rahsanya hidup atau nyawa (hidupnya) keluar dari badan wadag. Penerimaan seperti itu, pada mulanya berasal dari cerita perjalanan Sri Kresna di Dwarawati, atau sang Arjuna ketika angraga-suksma.
Agar diperhatikan, bahwa cerita seperti itu tetap hanya sebagai persemuan atau perlambang (simbol, bukan hal atau cerita yang sebenarnya).
Adapun uraian mengenai lelaku semèdi sebagai berikut.
Istilah semèdi sama dengan sarasa, yaitu rasa-tunggal, maligining rasa (berbaur berjalannya rasa), rasa jati, rasa ketika belum mengerti. Adapun matangnya perilaku atau pengolahan (makarti) rasa disebabkan dari pengelolaan atau pengajaran, ataupun pengelaman-pengalaman yang terterima atau tersandang pada kehidupan keseharian.
Olah rasa itulah yang disebut pikir,
muncul akibat kekuatan pengelolaan, pengajaran atau pengalaman tadi. Pikir lalu memiliki anggapan baik dan jelek, kemudian memunculkan tata-cara, penampilan dan sebagainya yang kemudian menjadi kebiasaan (pakulinan/adat).
Apapun anggapan baik-buruk, yang sudah menjadi tata-cara disebabkan telah menjadi kebiasaan itu, kalau buruk ya betul-betul buruk, dan kalau baik ya memang baik sesungguhnya. Dan itu semua belum tentu, karena semua itu hanyalah kebiasaan anggapan. Adapun anggapan (panganggep), belum pasti, tetap hanya menempati kebiasaan tata-cara (adat), jadi ya bukan kesejatian dan bukan kenyataan (real).
Apa yang dimaksudkan semèdi di sini, tidak ada lain kecuali hanya untuk mengetahui kesejatian dan kasunyatan.
Adapun sarananya tidak ada lagi kecuali hanya mengetahui atau menyilahkan anggapan dari perilaku rasa, yang disebut hilang-musnahnya papan dan tulis. Ya di situ itu tempat beradanya rasa-jati yang nyata, yang pasti, yang melihat tanpa ditunjukkan (weruh tanpa tuduh).
Adapun terlaksananya harus mengendalikan segala sesuatunya (hawa nafsu dan amarah), disertai dengan membatasi dan mengendalikan perilaku (perbuatan anggota badan).
Pengendalian anggota tadi, yang lebih tepat adalah dengan tidur terlentang, disertai dengan sidhakep (tangan dilipat di dada seperti takbiratul ihram, atau seperti orang meninggal), atau tangan lurus ke bawah, telapak tangan kiri kanan menempel pada paha kiri kanan, kaki lurus, telapak kaki yang kanan menumpang pada tapak kaki kiri. Maka hal itu kemudian disebut dengan sidhakep suku (saluku) tunggal.
Ataupun juga dengan mengendalikan gerakan mata, yaitu yang disebut meleng. Lelaku seperti itu dilakukan bagi yang kuasa mengendalikan gerak-bisik cipta (gagasan, ide, olah pikir), serta mengikuti arus aliran rahsa, adapun pancer-nya (arah pusat) penglihatan diarahkan dengan memandang pucuk hidung, keluar dari antara kedua mata, yaitu di papasu, adapun penglihatannya dilakukan harus dengan memejamkan kedua mata.
Selanjutnya adalah menata keluar masuknya nafas, seperti berikut.
Napas ditarik dari arah pusar, digiring naik melebihi pucuk tenggorokan hingga sampai di suhunan (embun-embunan/ubun-ubun), kemudian ditahan beberapa saat. Proses penggiringan atau pengaliran nafas tapi ibarat memiliki rasa mengangkat apapun, adapun kesungguhannya seperti yang kita angkat, itu adalah mengalirnya rasa yang kita pepet dari penggiringan nafas tadi. Kalau sudah terasa berat penyanggaan (penahanan) nafas, kemudian diturunkan secara pelan-pelan.
Lelaku seperti itu yang disebut sastra-cetha. Maksudnya sastra adalah tajamnya pengetahuan, cetha adalah mantabnya suara di pita suara (cethak), yaitu cethak (di ujung dalam dari lidah) mulut kita. Maka disebut demikian, ketika kita melaksanakan proses penmggiringan nafas melebihi dada kemudian naik lagi melebihi cethak hingga sampai ubun-ubun. Kalau nafas kita tidak dikendalikan, jadi kalau hanya menurutkan jalannya nafas sendiri, tentu tidak bisa sampai di bun-bunan (embun-embun), sebab kalau sudah sampai di tenggorokan langsung turun lagi.
Apalagi yang disebut daiwan (dawan), yang memiliki maksud: mengendalikan keluar masuknya nafas yang panjang lagipula disertai dengan sarèh (kesadaran penuh dan utuh), serta mengucapkan mantra yang diucapkan dalam batin, yaitu ucapan “hu” disertai dengan masuknya nafas, yaitu penarikan nafas dari pusar naik sampai ubun-ubun. Kemudian “ya” disertai dengan keluarnya nafas, yaitu turunnya nafas dari ubun-ubun sampai di pusar; naik turunnya nafas tadi melebihi dada dan cethak (pita suara).
Adapun hal itu disebut sastra-cetha, karena ketika mengucapkan dua mantra sastra: “hu-ya”, keluarnya suara hanya di batin saja, juga kelihatan dari kekuatan cethak (tenggorokan).
(Ucapan dan bunyi mantra atau dua penyebutan; “hu-ya” pada wirid Naksyabandiyah berubah menjadi ucapan; “hu-Allah”,
penyebutannya juga disertai dengan perjalanan nafas. Adapun wiridan Syatariyah, penyebutan tadi berbunyi; hailah haillolah [la ilaha illa Allah], tetapi tanpa pengendalian perjalanan nafas).
Untuk masuk keluarnya nafas seperti tersebut di atas, satu angkatan hanya mampu mengulangi tiga kali ulang, walau demikian, karena nafas kita sudah tidak sampai kuat melakukan lagi, karena sudah berat rasanya (menggèh-menggèh). Adapun kalau sudah sarèh (sadar-normal), ya bisa di laksanakan lagi, demikian seterusnya sampai merambah semampunya, karena semakin kuat tahan lama, semakin lebih baik.
Adapun setiap satu angkatan lelaku tadi disebut tripandurat, maksudnya tri = tiga, pandu = suci, rat = jagad = badan = tempat. Maksudnya adalah tiga kali nafas kita dapat menghampiri jagat-besar Yang Maha Suci bertempat di dalam suhunan (yang dimintai). Yaitulah yang di bahasakan dengan paworong kawula-Gusti, maksudnya kalau nafas kita pas naik, kita berketempatan Gusti, dan ketika turun, kembali menjadi kawula.
Tentang masalah ini, para pembaca hendaklah jangan salah terima! Adapun maksud disebutnya kawula-Gusti, itu bukanlah nafas kita, akan tetapi daya (kekuatan) cipta kita. Jadi olah semèdi itu, pokoknya kita harus menerapkan secara konsisten, membiasakan selalu melaksanakan keluar-masuk dan naik-turunnya nafas, disertai dengan mengheningkan penglihatan, sebab penglihatan itu terjadi dari rahsa.
i. Tujuan dan Kegunaan Semèdi
Adapun pelaksanaan semèdi seperti dituturkan di atas, juga bisa diringkaskan, yang penting kita selalu terus menerus tiada putus melakukan laku naik turunnya nafas, dengan duduk, berjalan, atau bekerja tidak boleh ketinggalan mengendalikan keluar masuknya nafas, yang disertai dengan pembacaan mantra “hu ya” seperti yang sudah diterangkan di atas.
Kecuali itu, wirid yang disebut daiwan, masih memiliki maksud yang lain lagi, yaitu memiliki pengertain panjang tanpa ujung, atau langgeng. Adapun maksud penyebutan bahwa nafas kita itu ternyata menjadi keberadaan hidup kita yang langgeng (abadi), yaitu dengan adanya nafas (ambegan) kita.
Adapun ambegan itu, ternyata adanya keberadaan angin (udara/oksigen) yang selalu keluar masuk tanpa henti, yang bersamaan dengan proses perjalanan darah (dan ruh). Apabila keduanya berhenti, tidak bekerja lagi disebut “mati”, yaitu rusaknya badan wadag kembali menjadi barang baru lagi. Oleh karena itu sebaiknya perjalanan nafas atau ambegan kita selalu keluar masuk tanpa henti, harus dipanjang-panjangkan proses perjalanannya, agar umur kita menjadi panjang, dan bisa menjadi awet berada di dunia ini, sampai tutug (selesai) pandangan kita kepada anak, cucu, buyut, canggah, wareng dan seterusnya.
Adanya uraian di atas menunjukkan bahwa bila pengetahuan pasamadèn itu ternyata lebih besar kegunaan dan manfaatnya, maka kemudian disebut sastrajendrayuningrat pangruwating diyu. Artinya sastra = tajamnya pengetahuan, jendra = dari uraian kata harja endra (harja = raharja, endra = ratu/dewa), yu = rahayu = sejahtera, ningrat = jagat = tempat = badan.
Jadi maksudnya adalah mustikanya pengetahuan yang kuasa menjadi penyebab kesejahteraan, keselamatan, kesempurnaan, ketenteraman dan sebagainya. Adapun arti dari pangruwating diyu = mengembalikan atau memulihkan diyu. Sedang diyu = danawa = raksasa = asura = buta, ini untuk perlambang keburukan, penyakit, kotoran, bahaya, kegelapan, kebodohan dan sesamanya. Jadi diyu itu sebagai kebalikan dari dewa yang memiliki makna simbolik pandai, baik, sejahtera dan selamat dan sebagainya. Itu mengandung maksud dikatakan yang dapat menyirnakan segala keburukan atau segala hal bahaya.
Intinya, barang siapa yang selalu ajeg berdisiplin melakukan lelaku olah semèdi, jika pada mulanya orang buruk, kemudian sirna keburukannya, berubah menjadi orang yang baik perilakunya. Orang sakit sirna penyakitnya, menjadi sembuh waras, orang murka dan aniaya menjadi menerima, sabar dan berbelas kasih. Orang yang bohong atau curang menjadi dipercaya dan bersungguh-sungguh. Orang bodoh menjadi pintar, orang pandai menjadi pandai sekali dan mengerti (bener dan pener, pikir dan nalar).
Demikian juga orang yang semula menjadi orang sudra menjadi waisa, waisa menjadi ksatria, ksatria menjadi brahmana, brahmana dapat menjadi penjaga dunia yang disertai oleh Hyang Kuasa (Batara).
Mudahnya, semua jenis keburukan atau segala bentuk rekayasa (goda rencana), bentuk bahaya apapun, baik yang muncul karena keburukan hati pribadi, atau segala sesuatu sirna, hapus-lebur oleh pangastuti hasil olah semèdi, yaitu mengelola dan mengendalikan (mengheningkan) cipta mewujudkan cita (pencerahan) dalam aworing kawula-Gusti (menyatunya hamba-Tuhan).
Demikian juga segala bahaya yang keluar dari keburukan atau perbuatan orang lain, seperti walaupun hewan yang mau mengganggu, tentu akan terkena akibat buruk, burung yang terbang melebihi, tentu mati sirna bentuk badan wadagnya.
Demikian juga bagi sesama titah yang sengaja meremehkan atau meluhurkan kemenangannya dan sejenisnya tentu tidak akan terjadi, selagi masih mau berpandang-hadapan saja, sudah tentu badannya kemudian gemetaran, ibarat gosong menjadi abu. Semua itu sebagai akibat terkalahkannya oleh besarnya kewibawaan yang selalu bersinar menggema daya kekuatan, seperti terangnya bulan purnama tanggal setengah (akibat olah semèdi yang dijalankan secara konsisten)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.