Shalat dalam tinjauan tasawuf ada dua macam, yaitu sholat yang bersifat syariat yaitu sholat lima waktu (shalat wajib dan sunnah), sedangkan yang kedua adalah sholat Daim. Adapun daim berarti kekal atau tetap, Shalat daim berarti doa atau dzikir yang kekal dan tetap. Shalat daim, seperti diungkapkan dalam firman Allah:
Yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya secara terus-menerus (Qs. al-Ma’arij ayat 23)
Ketika Ruh masih dalam kondisi yang ruhani, Sebelum diberi badan jasmani dan dibentuk oleh Allah. Pada hakekatnya Ruh sudah dibimbing agar selalu ingat (Dzikir) kepada Allah.
Ketika Ruh masih dalam kondisi yang ruhani, Sebelum diberi badan jasmani dan dibentuk oleh Allah. Pada hakekatnya Ruh sudah dibimbing agar selalu ingat (Dzikir) kepada Allah.
وَ إِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَني آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَ أَشْهَدَهُمْ عَلى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قالُوا بَلى شَهِدْنا
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Qs. Al-A‘raf:172)
Shalat Daim Dalam Tasawuf Jawa
Shalat daim terdapat dalam kepustakaan Jawa. Tidak seperti shalat lima waktu dan shalat sunah (nawafil), shalat daim tidak terikat dengan waktu, tanpa rukuk, dan tanpa sujud. Sebutan lengkap untuk salat ini adalah shalat daim mulat salira, yaitu zikir yang kekal dan mawas diri. Mawas diri di sini berarti selalu ingat atau eling kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam buku Salat Daim Mulat Salira karya Bratakesawa dijelaskan: “Shalat daim ialah sembahyang yang tetap, yang selalu dilaksanakan, atau sembahyang yang tidak pernah ditinggalkan, mawas diri, dan mawas aku (melihat dengan teliti akan diri sendiri atau dirinya dalam arti yang seutuhnya). Melakukan ini amat penting bagi kita yang mencari ilmu hakikat. Dan melakukan yang demikian inilah yang disebut dengan salat daim mulat sarira.”
Tidak berbeda dengan penjelasan ini, R. Ngabehi Ranggawarsita (Ronggowarsito) dalam bukunya Wirid Ma’lumat Jati menyatakan bahwa yang dimaksud dengan shalat daim adalah: “memperhatikan dengan seksama rasa hidup kita semua, lalu mengakui dirinya menjadi penampakan lahiriah Tuhan Yang Maha Suci yang sejati, Yang Maha Kuasa, Yang Kuasa menciptakan segala sesuatu. Kalau sudah bisa demikian, itulah yang disebut shalat daim, yaitu shalat sejati.”
Tentang salat daim ini dijelaskan oleh Ranggawarsita, yaitu “saya berniat salat daim untuk selama hidupku, berdirinya adalah hidupku, rukuknya adalah penglihatanku, iktidalnya adalah pendengaranku, sujudnya adalah penciumanku, bacaan ayat adalah ucapanku, duduknya adalah imanku, pujiannya adalah keluar masuknya nafasku, zikirnya adalah ingatanku, kiblatnya adalah renunganku, fardu menjalankan yang wajib lantaran kodratku sendiri. Disitu lalu pasrah kepada Zat hidup kita pribadi . jangan ragu-ragu lagi, karena yang demikian itu telah berdiri Zat, sifat dan perbuatan kita ini sudah menjadi Al-Qur’an sejati, sebagai tanda hakikat semua shalat.”
Lebih lanjut ia menjelaskan, “Itulah shalat daim, yakni salat yang sejati, ia tanpa di antarai waktu, tidak mempunyai hitungan rakaat, mereka ini bisa disebut shalat sambil bekerja, melakukan pekerjaan sambil salat, duduk dengan berdiri, berdiri dengan duduk, lari dengan berhenti, membisu dengan berceritera, bepergian dengan tidur, tidur dengan jaga. Seperti itulah ibaratnya, sebab hakikat shalat daim tanpa sujud dan rukuk, yakni hanya berada dalam rasa hidup kita.”
Menurut Ranggawarsita, karena hakikat shalat terletak pada perbuatan utama, yakni sabar dalam pendengaran, maka jika seseorang bisa menutup telinga untuk tidak mendengar hal-hal yang tidak bermanfaat, berarti ia telah melaksanakan shalat.
Shalat daim tersebut menurut mereka merupakan bentuk pengembaraan ahli kerohanian dalam mencari Tuhan. Untuk menemui Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Suci, dan Maha Sempurna, maka dalam pencarian itu seseorang harus suci secara lahir dan batin. Karena itu ia harus menghidupkan hati dan perasaannya untuk selalu ingat dan berzikir kepada Tuhan. Hal ini bisa dicapai dengan cara shalat daim dalam arti tasawuf, yaitu “ ingat dan zikir yang terus-menerus”.
Dengan demikian shalat daim ini tidak dalam arti salat fardu lima waktu dan salat sunah, melainkan lebih sesuai jika diartikan zikir secara sufi yang terus-menerus.
Al-Qur’an menganjurkan banyak berzikir di luar salat. Dalam hubungan ini Allah SWT berfirman:
فَإِذا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَ ابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ وَ اذْكُرُوا اللهَ كَثيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS.al-jumuah:10)
فَإِذا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللهَ قِياماً وَ قُعُوداً وَ عَلى جُنُوبِكُمْ
Maka apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah pada waktu kamu berdiri, duduk, dan berbaring. (Qs. An-Nisa’: 103)
Rasulullah Saw. adalah contoh yang sempurna, beliau menjalankan shalat lima waktu dan shalat sunnah-sunnah lainnya, tetapi beliau juga menjalankan shalat daim dalam sehari-harinya.
عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يذكر اللَّه على كل أحيانه. رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari `Aisyah radhiyallahu `anha, ia berkata : “Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam selalu berzikir kepada Allah Ta’ala dalam segala keadaan”. (HR. Muslim.)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.