728x90 AdSpace

Selasa, 04 Juli 2017

Ilmu Hening/Meditasi dan cara Pelaksanaannya

Uraian lebih lengkap untuk Meditasi, bisa dilihat di buku “Sufisme Syekh Siti Jenar, Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti Jenar, Muhammad Sholikhin, Yogyakarta: Narasi, 2004, hlm 284-298 (buku pinjaman mbah hamsyong dan mbah gen13th).

Istilah semedi sama dengan sarasa, yaitu rasa tunggal, maligining rasa (berbaur berjalannya rasa), rasa jati, rasa ketika belum mengerti. Adapun matangnya perilaku atau pengolahan (makarti) rasa disebabkan dari pengolahan atau pengajaran, atau pengalaman-pengalaman yang diterima atau tersandang pada kehidupan keseharian. Olah rasa itulah yang disebut pikir, muncul akibat kekuatan pengelolaan, pengajaran atau pengalaman tadi. Pikir lalu memiliki anggapan yang baik dan jelek, kemudian memunculkan tata cara, penampilan dan sebagainya yang kemudian menjadi kebiasaan (pakulinan/adat).

Apa yang dimaksud semedi disini, tidak lain kecuali hanya untuk mengetahui kesejatian dan kesunyatan. Adapun sarananya tidak ada lagi kecuali hanya mengetahui atau menyilakan angapan dari perilaku rasa yang disebut hilang-musnahnya papan tulis. Ya, disitu itu tempat beradanya rasa jati yang nyata, yang pasti dan yang melihat tanpa ditunjukkan (weruh tanpa tuduh). Adapun terlaksananya harus mengendalikan segala sesuatunya (hawa nafsu dan amarah), disertai dengan membatasi dan mengendalika perilaku (perbuatan anggota badan). 


Adapun pelaksanaannya secara umum adalah sebagai berikut: pengendalian anggota tadi yang lebih tepat adalah dengan tidur telentang disertai dengan sidhakep (tangan dilipat di dada seperti takbiratul ikhram, atau seperti orang yang meninggal, aau tangan lurus ke bawah, telapak tangan kiri kanan menempel pada paha kiri kanan, kaki lurus, telapak kaki yang kanan menumpang pada tapak kaki kiri. Maka hal itu kemudian disebut dengan sidhakep suku (saluku) tunggal. Ataupun juga dengan mengendalikan gerakan mata, yaitu yang disebut meleng. Lelaku seperti itu dilakukan bagi yang kuasa mengendalikan gerak-bisik cipta (gagasan, ide, ilah pikir) serta mengikuti arus aliran rahsa. Adapun pancer-nya (arah pusat) penglihatan diarahkan dengan memandang pucuk hisung keluar diantara kedua mata, yaitu di papasu. Sedang penglihatannya dilakukan harus dengan memejamkan kedua mata.

Selanjutnya adalah menata keluar masuknya napas seperti berikut: Napas ditarik kearah pusar, digiring naik melebihi pucuk tenggorokan hingga sampai di suhunan (embun-embun/ubun-ubun). Ditahan beberapa saat. Proses penggiringan atau pengaliran napas ibarat memiliki rasa mengangkat apapun. Namun kesungguhannya seperti yang kita angkat itu adalah mengalirnya rasa yang kita pepet dari penggiringan napas tadi. Kalau sudah terasa berat penyanggaan (penahanan) napas, kemudian diturunkan secara pelan-pelan. Lelaku seperti itu yang disebut sastra-cetha. Maksudnya, sastra adalah tajamnya pengetahuan. Sedang cetha adalah mantapnya suara di pita suara (cethak), yaitu cethak ( di ujung dalam dari lidah) mulut kita. Maka disebut demikian, ketika kita melaksanakan proses penggiringan napas melebihi dada dan kemudian naik lagi melebihi cethak hingga sampai ubun-ubun. Kalau napas kita tidak dikendalikan, dan hanya menurutkan jalannya napas sendiri, tentu tidak bisa sampai ke bun-bunan (embun-embun). Hal itu karena jika sudah sampai di tenggorokan langsung turun lagi.

Apalagi yang disebut daiwan(dawan), yang memiliki maksud: mengendalikan keluar masuknya napas yang panjang dan disertai dengan sareh (kesadaran penuh dan utuh), serta pengucapan mantera yang diucapkan dalam batin, yaitu ucapan “hu” disertai masuknya napas, yakni penarikan napas dari pusar naik sampai ke ubun-ubun. Kemudian “ya” disertai dengan keluarnya napas, yaitu turunnya napas dari ubun-ubun sampai pusar, naik turunnya napas tadi melebihi dada dan cethak (pita suara).

Adapun hal itu disebut sastra-cetha, karena ketika mengucapkan dua mantera sastra: “hu-ya”, keluarnya suara hanya di batin saja. Juga kelihatan dari kekuatan cethak (tenggorokan). Ucapan dan bunyi mantera atau dua penyebutan “hu-ya” pada wirid Naksyabandiah akan berubah menjadi ucapan “hu-Allah”. Dimana penyebutannya juga disertai dengan perjalanan napas. Adapun wiridan Syatariah, penyebutan tadi berbunyi “hailah haillolah” (la ilaha illa Allah), tetapi tanpa pengendalian perjalanan napas.

Untuk masuk keluarnya napas seperti tersebut diatas, satu angkatan hanya mampu mengulangi tiga kali ulang. Walau demikian, karena napas kita sudah tidak kuat melakukan lagi. Rasanya sudah berat (menggeh-menggeh). Ada pun kalau sudah sareh (sadar normal), itu bisa dilakukan lagi. Demikian seterusnya semampunya. Karena semakin kuat tahan lama, semakin baik. Adapun setiap satu angkatan, lelaku tadi disebut tripandurat, maksudnya tri=tiga, pandu=suci, rat=jagad=badan=tempat. Maksudnya dalah tiga kali napas kita dapat menghampiri jagat besar yang Maha Suci dan bertempat di dalam suhunan (yang dimintai). Ya itulah yang dibahasakan dengan paworingh kawula Gusti. Maksudnya kalau napas kita pas naik, kita berketempatan Gusti, dan ketika turun, kembali menjadi kawula. Yang dimaksud Kawula Gusti itu bukanlah napas kita, akan tetapi daya (kekuatan) cipta tadi. Jadi, olah semedi itu pada pokoknya kita harus menerapkan secara konsisten, membiasakan selalu melaksanakan keluar masuk dan naik turunnya napas disertai dengan mengheningkan penglihatan. Sebab penglihatan itu terjadi dari rahsa.




  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Item Reviewed: Ilmu Hening/Meditasi dan cara Pelaksanaannya Rating: 5 Reviewed By: Rustadi