MALAM PENCERAHAN
Sambil menunggu buka puasa seorang santri bertanya kepada Kiyainya, “ Guru...! apa hikmahnya ada lailatul qodar dalam bulan romadhan?.”
Sang Guru menjawab, “ Diriwayatkan Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Sekelompok manusia beribadah dengan harapan mendapatkan pahala dan ganjaran. Inilah ibadah para pedagang.
Sekelompok lainnya beribadah karena takut kepada siksa. Inilah ibadah para budak.
Sekelompok orang beribadah untuk bersyukur kepada Allah. Inilah ibadah orang-orang yang bebas.” (Bihârul Anwâr)
Dulu ketika zaman Nabi saw. berada di Madinah kebanyakan ummatnya kerjanya berniaga (dagang), mereka dalam melakukan suatu pekerjaan yang dipikirkan adalah hasil dan untungnya. Ketika romadhan memasuki malam yang ke duapuluh satu ke atas, kondisi tubuh semakin lelah, pikiran banyak yang jenuh, apalagi budaya kita fokus hati dan pikiran bukan ke puasa melainkan memikirkan THR., baju baru, jajan, rumah dicat baru, persiapan lebaran. Dengan adanya malam lailatul qodar hikmahnya agar fokus kita kembali ke ibadah puasa secara lahir dan batin.”
“ Guru apakah semua orang yang berpuasa mendapatkan malam lailatul qodar...?” tanya santrinya kembali.
Sang Guru menjawab, “ Lailatul qodar itu malam pencerahan (mi’roj), setelah seseorang melatih jiwanya dan mengalahkan hawa nafsunya. Semua orang yang bersungguh-sungguh dalam puasanya, mereka akan mendapatkan malam lailatul qodar sesuai tingkatan ruhaniahnya.
Tingkatan Syariat: setelah mereka mencegah satu bulan makan dan minum serta hubungan sex di siang hari dengan sungguh-sungguh, maka nafsu ammarahnya menjadi terkikis, dan tidak suka anarkis.
Tingkatan Thorekot: mereka adalah golongan yang berusaha lahir batin untuk mengalahkan sifat-sifat tercela dan berusaha menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang mulia, sehingga akhlaknya mulia, orang Islam yang lemah lembut.
Tingkatan Hakekat: mereka adalah golongan yang berusaha menjaga dirinya dari dosa lahir dan dosa batin, sehingga hatinya bening seperti kaca.
Tingkatan Makrifat: mereka adalah golongan yang dihatinya hanyalah Allah semata, selain Allah tidak ada.”
Lalu santrinya bertanya kembali, “ Guru...bagaimana mungkin seseorang bisa melihat Tuhan, sedangkan kedua mata kita sangat terbatas sekali, bagaimana mungkin seorang makhluk melihat Sang Kholik.....?.”
Sang Gurupun menjawab dengan bijak, “ Diriwiyatkan suatu ketika Seseorang datang kepada Imam Ali bin Abi Thalib dan berkata : “Apakah engkau melihat Allah sehingga engkau menyembah-Nya?”
Beliau berkata, “Celaka Engkau! Aku tidak akan menyembah Tuhan yang aku tidak lihat?”
Orang itu bertanya, “Bagaimana engkau melihat-Nya?”
Imam Ali menjawab, “Mata kasar tidak dapat melihat Allah, melainkan mata hati yang melihat-Nya dengan dasar hakikat iman.” (Bihârul Anwâr)
SUMBER" FB CAHAYA GUSTI
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.