LAILATUL QODAR : MALAM PENCERAHAN Ruhani
Secara hakekat tujuan puasa romadhan adalah untuk bertemu dengan Allah, Rasulullah menjelaskan dalam sebuah riwayat hadits.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلي الله عليه وسلم كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembira ketika dia berbuka dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.”[Hr. Muslim] [1]
Jika dalam bulan romadhan puasanya benar-benar dilaksanakan dengan puasa lahir bathin dan memperbanyak dzikir, sholat malam, tadarus al-Qur’an, bersedekah, jika jiwa kita sudah bersih maka akan mendapatkan kebahagiaan berjumpa dengan Rabbnya (Tuhan-Nya), itulah hakekatnya lailatul qodar yang tertinggi, adapun yang tingkatan sedang adalah mengalahkan hawa nafsu, sedangkan tingkat yang terendah mencapai ketaqwaan kepada Allah.
Melihat Dengan Mata Hati.
Ulama sepakat bahwa Rasulullah pernah melihat Allah dengan hatinya, berdasarkan hadits diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia berkata: “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatNya dengan hatinya” [HR.Muslim]
Imam Nawawi berkata: “Melihat Allah dengan hatinya adalah penglihatan yang benar, yaitu Allah menjadikan penglihatannya dihatinya atau menjadikan hatinya mempunyai penglihatan sehingga dia bisa melihat Tuhannya dengan benar, sebagaimana dia melihat dengan mata kepalanya sendiri. [Syarah Shahih Muslim juz3, hal 6].
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan. Dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.(Qs. Al-An’am [6]:103)
Rasulullah saw. bersabda, "Setiap hati memiliki dua mata dan dua telinga. Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia membukakan kedua mata hatinya untuk menyaksikan malakut.[3]
Diriwayatkan dari Imam as-Sajjad. "Ketahuilah, hamba memiliki empat mata; dua mata untuk melihat perkara agama dan dunianya dan dua mata yang lain untuk melihat perkara akhiratnya. Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia membukakan dua mata yang terdapat dalam hatinya sehingga ia melihat kegaiban dalam perkara akhiratnya. [ Al-Khishal: 90/240]
Tanda-Tanda Malam Lailatul Qodar
Memahami tanda-tanda turunnya lailatul qodar harus jeli dan teliti, karena hal ini berkaitan dengan kondisi ruhani seseorang yang mengalami pencerahan spritual. Bukan tanda-tanda di langit dunia ini.
Adapun tentang tanda malam Lailatul Qadar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutnya sebagai berikut:
سَمِعْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ ، يَقُولُ ....قَالَ أُبَىٌّ وَاللَّهِ الَّذِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ إِنَّهَا لَفِى رَمَضَانَ - يَحْلِفُ مَا يَسْتَثْنِى - وَوَاللَّهِ إِنِّى لأَعْلَمُ أَىُّ لَيْلَةٍ هِىَ. هِىَ اللَّيْلَةُ الَّتِى أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِقِيَامِهَا هِىَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِى صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لاَ شُعَاعَ لَهَا.
Aku mendengar Ubay (bin Ka'ab) berkata, "Demi Allah yang tiada tuhan melainkan Dia. Sesungguhnya ia terjadi di bulan Ramadhan. Dan demi Allah sesungguhnya aku mengetahui malam itu. Ia adalah malam yang Rasulullah memerintahkan kami untuk qiyamullail, yaitu malam kedua puluh tujuh. Dan sebagai tandanya adalah pada pagi harinya matahari terbit dengan cahaya putih yang tidak bersinar-sinar menyilaukan." (HR. Muslim ). [4]
لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةٌ بَلْجَةٌ لاَ حَارَّةٌ وَ لاَ بَارِدَةٌ (وَلاَسَحَابٌ فِيْهَا وَلاَمَطَرٌ وَلاَرِيْحٌ ) وَ لاَ يُرْمَى فِيْهَا بِنَجْمٍ وَ مِنْ عَلاَمَةِ يَوْمِهَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ لاَ شُعَاعَ لَهَا
Malam Lailatul Qadr adalah malam yang terang, tidak panas dan tidak dingin (tidak ada gumpalan awan, hujan maupun angin), dan tidak dilepaskan bintang. Sedangkan di antara tanda pada siang harinya adalah terbitnya matahari tanpa ada syu’anya .” (HR. Thabrani)
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلْقَةٌ لاَ حَارَّة ٌوَلاَ بَارِدَةٌ وَتُصْبِحُ شَمْسُ صَبِيْحَتِهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاءُ
“(Malam Lailatul Qadr adalah) malam yang ringan, sedang, tidak panas dan tidak dingin, dimana matahari pada pagi harinya melemah kemerah-merahan.” (HR. Baihaqi)
Jika dicermati hadit-hadits tentang turunnya lailatul qodar, maka menunjukkan kondisi suasana pencerahan ruhani ketika seseorang melihat Tajalli allah yaitu Cahaya Ilahi.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ ، قَالَ : قُلْتُ لِأَبِي ذَرٍّ : لَوْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَسَأَلْتُهُ ، فَقَالَ : عَنْ أَيِّ شَيْءٍ كُنْتَ تَسْأَلُهُ ؟ قَالَ : كُنْتُ أَسْأَلُهُ ، هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ ؟ قَالَ أَبُو ذَرٍّ : قَدْ سَأَلْتُ ، فَقَالَ : " رَأَيْتُ نُورًا " .
Dari Abdullah bin Syaqiq berkata, aku berkata kepada Abu Dzar, “Kalau seandainya aku melihat Rasulullah, niscaya aku menanyakan itu kepadanya.' Abu Dzar berkata, 'Tentang apa yang akan kamu tanyakan? ' Aku menjawab, 'Aku akan bertanya, 'Apakah tuan melihat Rabbmu? ' Abu Dzar berkata, 'Aku telah menanyakan itu, beliau menjawab: 'Aku hanya melihat cahaya'." (Hr. Muslim) [5]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ نَاسٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ هَلْ تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ الشَّمْسِ فِي الظَّهِيرَةِ لَيْسَتْ فِي سَحَابَةٍ قَالُوا لَا قَالَ هَلْ تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ لَيْسَ فِي سَحَابَةٍ قَالُوا لَا قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ إِلَّا كَمَا تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ أَحَدِهِمَا
Dari Abu Hurairah ia berkata, "Seseorang bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, apakah kita bisa melihat Tuhan kita pada hari kiamat?" beliau bersabda: "Apakah kalian merasa kesulitan ketika melihat matahari saat waktu zhuhur yang tidak ada awannya?" mereka menjawab, "Tidak." Beliau bertanya lagi: "Apakah kalian merasa kesulitan saat melihat rembulan di malam purnama yang tidak ada awannya?" mereka menjawab, "Tidak." Beliau bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, kalian tidak akan kesulitan untuk melihat-Nya kecuali sebagaimana kalian melihat salah satu dari keduanya (matahari atau rembulan)." [Hr. Abu Dawud] [6]
Hal di atas sangat nyambung sekali jika dikaitkan dengan tanda-tanda ketika seseorang mengalami pencerahan ruhani, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Abdullah Bin Muhammad al-Ajami dalam kitabnya al-Fuyudhot ar-Robbaniyyah ketika menjelaskan kondisi ruhani seseorang yang menuju tahap jiwa Mardhiyyah dan Kamilah.
Jika waktu dzikir atau tidur melihat langit maka artinya orang yang melakukan dzikir tersebut hatinya selalu tergantung dan ingat kepada Allah. Jika melihat bintang, maka artinya orang yang tersebut jiwanya bercahaya. Jika melihat api berkobar, maka artinya hatinya telah fana’ lebur cinta kepada Allah.
Jika melihat petir, artinya diberi peringatan agar tidak lupa dzikir. Jika melihat Matahari artinya cahaya-cahaya Ruh. Jika melihat bulan, artinya cahaya hatinya murid telah sempurna.
Jika sewaktu dzikir atau tidur melihat hujan, salju, es, sungai, mata air, sumur dan lautan semuanya itu sumber air suci yang mensucikan ini menunjukkan jiwanya telah bersih dan suluknya telah wusul (sampai ) dan sempurna.[7]
Wallahu A'lam.
Daftar Rujukan:
[1] Sohih Muslim, lihat :
[2] Tafsir al-Muhith al-A’zham wa al-Bahr al-Khadham, karya Sayid Haydar al-Amin, tahqiq, pengantar dan komentar: Muhsin al-Musawi at-Tabrizi, jil.1, hal.272.
[4] Shohih Muslim, lihat :
[5] Shohih Muslim, lihat:
[6] Sunan abu Dawud, lihat: https://tafsirq.com/hadits/abu-daud/4105
[7] Abdullah Bin Muhammad Al-Ajami, Al-Fuyudlot Ar-Robbaniyah, Penerbit Mustafa Albabi Alhalabi wa Auladuhu bi Mashr.Hal. 19-26.
Oleh CAHAYA GUSTI
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.